Rabu, 07 Februari 2018

Menyediakan Area Resapan Sekitar Tempat Tinggal Dapat Mengantisipasi Bencana Kebumian



Manusia penghuni bumi ini tentu sangat mendambakan berada pada lokasi yang benar-benar aman dari ancaman bencana kebumian. Keinginan tersebut, sesungguhnya dapat diwujudkan melalui usaha yang dilakukan oleh kita sebagai pewaris bumi secara kolektif, dengan upaya perlakuan terhadap tanah, salah satunya.
Di antara yang menjadi penyebab terjadinya bencana kebumian, seperti longsor, banjir dan gempa, adalah kondisi tanah yang labil. Labilnya tanah ditentukan oleh struktur, jenis, kepekatan dan komposisi tanah tersebut.
Keadaan umum tanah suatu kawasan, selain ditentukan oleh kehendak alam itu sendiri, sebagai anugrah Tuhan, juga dapat diusahakan oleh penghuninya dengan berbagai rekayasa biologis alamiah pemanfaatan tanah. Seperti penetapan dan penjagaan zona hijau melaui penghijauan (reboisasi), pemilahan dan pemanfaatan area pemukiman, penjagaan area zona air, penetapan hutan lindung, dan lain sebagainya.
Dalam rangka kita memproyeksikan kawasan sekitar kita tinggal, aman dari terjangan bencana kebumian, kita awali dari area yang terdekat dengan kita. Dari tempat tinggal kitalah hal itu mungkin dapat diwujudkan.
Tempat tinggal, terutama rumah, seharusnya memang didirikan di daerah yang layak untuk menjadi pemukiman,  yang diatur dalam RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) yang ditetapkan oleh masing-masing daerah kabupaten/kota. RTRW daerah juga harus mengacu kepada RTRW Nasional yang ditetapkan oleh pemeritah pusat. Hal ini diatur agar sejalan dengan proses pembangunan yang berkelanjutan dan berkesinambungan.
Penetapan RTRW sejatinya sudah melalui kajian yang mendalam dan dapat dipertanggungjawaban, baik secara keilmuan, legalitas formal maupun penghormatan pada kearifan lokal masing-masing. Sehingga dapat mengurangi resiko di kemudian hari, dan meminimalisasi resistensi sosial yang mungkin akan terjadi.
Sekali lagi, tempat tinggal berupa rumah di pemukiman seharusnya sudah sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Selanjutnya, masing-masing rumah tersebut dapat melakukan upaya-upaya untuk pengaturan area resapan pada masing-masing tepat tinggalnya.
Untuk kasus tempat tinggal di Rusun (rumah susun), kita dapat memastikan kawasan rusun memiliki area resapan yang memadai, yang disediakan secara terrencana oleh pengembang. Serta keberadannya dikontrol oleh yang berwenang, untuk memastikan tidak ada alih fungsi lahan pada perkembangan selanjutnya.
Harapan idealnya, penyediaan area resapan, sebanding luasnya dengan lahan yang dipakai  atau ditutup oleh bangunan, jalan, atau material lainnya, dimana kondisi tanah tidak dapat menyerap aliran air diatasnya, seperti lapangan yang ditembok, jalan aspal atau beton, atau tertutup material lain, seperti plastik, tenda, seng, atau lainnya.
Untuk formasi lahan pekarangan yang digunakan secara tetap demi kenyamanan terpaksa menutup dengan material padat, maka sangat dianjurkan tetap memberi ruang (pori-pori) tanah. Hal tersebut dapat memanfaatkan paving blok salah satunya. Jadi, kendatipun menggunakan material padat yang tidak menyerap air, tetap disela-selanya tersedia area resapan.
Dalam hal penyediaan area resapan tiap rumah, amat diharapkan sejak rencana pembangunan pada denah tanah yang tersedia, menyisakan ruang terbuka lahan yang tidak ditutupi oleh material padat, dapat berupa taman, kebun, lapangan rumput, area pertanian, sawah, kolam, atau area hijau (hutan kecil sekitar rumah), dan lain-lain.
Bagi rumah yang sudah menyediakan area resapan, agaknya perlu apresiasi dari kelembagaan yang berwenang. Hal tersebut untuk memberi penyadaran kolektif pentingnya area resapan sekitar kita.

Dengan menyediakan area resapan secara bersama-sama tiap tempat tinggal, maka kelebihan volume air yang diakibatkan oleh hujan deras, banjir kiriman, atau situasi darurat lain, akan dapat terkendali oleh area resapan yang sebanding. Pada gilirannya, kita optimis mampu mengantisipasi bencana kebumian secara global. Semoga.***

Senin, 03 April 2017

Pendekatan Kearifan Lokal Dalam Pengembangan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu


Pendekatan Kearifan Lokal Dalam Pengembangan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu

Oleh : Mansur Asy’arie



Fenomena Gerusan Budaya
Gaya hidup dan kecederungan masyarakat di negara-negara ketiga, termasuk Indonesia, terutama generasi muda yang meninggalkan kekayaan leluhur berupa kearifan lokal, tidak serta merta terjadi begitu saja. Hal ini adalah akumulasi dari perilaku dan gaya hidup komunal bangsa. Maka pengembalian kecenderungan ini juga mesti dilakukan secara komunal dan permisif, dengan pemahaman, dukungan serta penerapan masyarakat kita secara bersama-sama, bahwa potensi warisan leluhur, berupa kearifan lokal adalah modal yang sangat berharga dalam rangka mempertahankan identias masyarakat.
Karakteristik pengembangan tersebut tentu harus dipahami dan disadari sejak awal oleh masyarakat, bahwa memerlukan proses yang telaten, waktu yang relatif lama dan sangat sangat menjunjung tinggi kebiasaan, tradisi lokal, dan penghormatan terhadap kekayaan alam, sebagai sebuah keseimbangan alamiah, dan penghormatan serta pengabdian kepada Sang Pencipta, sebagai rasa syukur.
Di sisi lain, tuntutan dan kecenderungan hidup yang mengadaptasi pengembangan inovasi, yang penerapannya dengan berbasis pada kemajuan teknologi informasi yang serba instan, digital dan pragmatis, bukanlah sesuatu yang tabu. Pengembangan ini bukan untuk mengganti proses panjang tradisi lokal, tetapi sebaliknya yaitu untuk mengefektifkan nilai-nilai warisan leluhur, dengan cara penjagaan originalitas warisan tersebut, keseimbangan dengan hukum-hukum alam, prinsip kehati-hatian dan penjagaan hasil-hasil bumi yang telah dianugerahkan oleh Sang Penguasa.
Selebihnya, berbagai upaya tarik-menarik kepentingan ekonomi, politik, sektarian, para pemodal, dunia usaha, komunitas dan pelanggengan kekuasaan berbagai pihak, antara lokal (daerah) dengan pusat, dalam praktik operasionalisasi pembangunan juga masih menjadi kendala.
Inilah antara lain sejumlah masalah yang dihadapi oleh kita dalam upaya pengembangan dan pembangunan masyarakat, khususnya kawasan Geopark Ciletuh-Palabuhnaratu. Karena itu, maka perlu dicari pendekatan, mekanisme dan kesepahaman berbagai elemen yang terlibat dalam rangka proses pembangunan, yang membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit ini.

Mencari Identitas Budaya Lokal
Kawasan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu yang disadari belakangan ini berada pada sebuah spasial khusus, adalah takdir. Takdir ini menjadi anugerah tersendiri yang bersifat unik untuk setiap makhluk yang hidup di dalamnya. Hal itu, sebagai bukti dari kemahasucian, keagungan dan kemahakuasaan Sang Pencipta. Kita tidak bisa mengelak, untuk terlahir dan berada pada sebuah wilayah tertentu.
Takdir ini kemudian menjadi modal awal manusia yang hidup di belahan kawasan ini, untuk menentukan kehidupannya bersama-sama atau sendiri-sendiri. Sehingga dalam kurun waktu tertentu makhluk hidup di kawasan tersebut berinteraksi membentuk karakter khas-spesifik. Dalam pandangan antropologis hal itu kemudian menjadi ciri khas budayanya. Budaya setempat itu terjadi alami, sebagai entitas primordial. Kekhasan budaya dalam ikatan sosial dasar tersebut, menurut Steven Mock (2009), akan menjadi kekuatan utama.
Sebagai manusia yang terlahir dalam kesamaan takdir, di kawasan ini, maka tentu mempunyai proyeksi hidup yang dimungkinkan akan memperkuat identitasnya, dengan cara mempertahankan kebersamaan, persatuan, warisan leluhur, kearifan lokal dan identitas lainnya, sebagai pandangan komunal.
Tetapi mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Kirsten Kearney (2007), pada Constructing The Nation: The Role of The Ballad in Twentieth Century German National Identity with Special Reference to Scotland, bahwa pada Abad ke-20 perkembangan gagasan kesadaran spasial terbukti efektif menjadi kekuatan positif sebagai konsep untuk pembangunan masyarakat. Bahkan sesungguhnya pengakuan bahwa identitas komunal tidak selalu alami, melekat dan mudah, tetapi lebih merupakan konstruksi yang disengaja, yang dibuat oleh orang atau kelompok untuk kepentingan politik, sosial dan budaya yang berbeda. Pandangan ini lebih elegan, karena mengkolaborasi unsur takdir dan usaha.
Realitasnya, ada sejumlah elemen yang berkontribusi menjadi identitas dasar setiap orang, yang kemudian menjadi penentu kesadaran kebersamaan, senada dengan M. Quraish Shihab (2000), dalam Wawasan Al-Quran, yaitu:
a)      Tubuh fisik (yang meliputi warna kulit, ukuran, jenis rambut dan ciri-ciri wajah).
b)      Nama orang (nama individu, nama keluarga dan nama grup).
c)       Bahasa, belajar pertama untuk berbicara dan dengan yang satu menemukan dunia.
d)      Agama seseorang diindoktrinasi ke dalam.
e)      Sejarah dan asal dari kelompok satu dilahirkan.
f)        Kebangsaan seseorang, atau afiliasi etnis.
g)      Geografi tempat kelahiran.
h)      Budaya yang diwarisi.
Hal-hal itu sekali lagi dikategorisasikan sebagai faktor primordial. Artinya ada sejak manusia terlahir. Lalu menjadi identitas. Kendati wacana primordialisme juga mendapat kritik, karena tidak dapat menjelaskan asal-usul, perubahan dan pembubaran kelompok etnis secara tuntas.
Dalam konteks ini, Dumlupinar (2013) berpendapat bahwa identitas adalah konstruksi dan dibentuk sesuai dengan urgensi konjungtur yang ada. Dumlupinar mengajukan dua cara menafsirkan karakter komunal sebagai tipe ideal dasar: yaitu identitas primordial dibandingkan dengan indentitas instrumental.
Dalam terminologi primordial bahwa pelaku utama yang ethno-nation, yaitu komunitas yang menyatukan individu melalui persamaan etnik. Sedangkan Instrumental cara menafsirkan masyarakat yang menekankan aspek pragmatis dan situasional dari komunitas besar mereka.
Dengan demikian, kenyataan terbentuknya budaya lokal, baik melalui usaha sistematik maupun alami, merupakan ciri khas budaya lokal yang dapat dijadikan modal utama untuk memproyeksikan masa depan mereka menuju kesejahteraan.
Sejumlah identitas budaya lokal kawasan geopark Ciletuh-Palabuhanratu sudah diidentifikasi sejak lama, setidaknya oleh tim perumusan rencana induk pengembangan kawasan ini. Baik dalam bentuk potensi seni tradisi, warisan budaya sosial, aspek kekhasan goegrafis maupun ancaman kehidupan sesuai karakter lokal.  Kendatipun sosialisasinya masih belum gencar.

(lebih lanjut untuk membaca artikel ini, kunjungi di 
https://mansurasyarie.wordpress.com/2017/04/01/pendekatan-kearifan-lokal-dalam-pengembangan-geopark-ciletuh-palabuhanratu/