DiscoverJampang
Jelajah Rona Eksotis Bumi Pajampangan
Kamis, 04 Juli 2019
Jumat, 29 Maret 2019
Sabtu, 23 Maret 2019
Minggu, 17 Maret 2019
Jumat, 15 Maret 2019
Rabu, 07 Februari 2018
Menyediakan Area Resapan Sekitar Tempat Tinggal Dapat Mengantisipasi Bencana Kebumian
Manusia penghuni bumi ini tentu sangat mendambakan berada
pada lokasi yang benar-benar aman dari ancaman bencana kebumian. Keinginan
tersebut, sesungguhnya dapat diwujudkan melalui usaha yang dilakukan oleh kita
sebagai pewaris bumi secara kolektif, dengan upaya perlakuan terhadap tanah,
salah satunya.
Di antara yang menjadi penyebab terjadinya bencana
kebumian, seperti longsor, banjir dan gempa, adalah kondisi tanah yang labil.
Labilnya tanah ditentukan oleh struktur, jenis, kepekatan dan komposisi tanah
tersebut.
Keadaan umum tanah suatu kawasan, selain ditentukan
oleh kehendak alam itu sendiri, sebagai anugrah Tuhan, juga dapat diusahakan
oleh penghuninya dengan berbagai rekayasa biologis alamiah pemanfaatan tanah.
Seperti penetapan dan penjagaan zona hijau melaui penghijauan (reboisasi),
pemilahan dan pemanfaatan area pemukiman, penjagaan area zona air, penetapan
hutan lindung, dan lain sebagainya.
Dalam rangka kita memproyeksikan kawasan sekitar kita
tinggal, aman dari terjangan bencana kebumian, kita awali dari area yang
terdekat dengan kita. Dari tempat tinggal kitalah hal itu mungkin dapat
diwujudkan.
Tempat tinggal, terutama rumah, seharusnya memang
didirikan di daerah yang layak untuk menjadi pemukiman, yang diatur dalam RTRW (Rencana Tata Ruang
dan Wilayah) yang ditetapkan oleh masing-masing daerah kabupaten/kota. RTRW
daerah juga harus mengacu kepada RTRW Nasional yang ditetapkan oleh pemeritah
pusat. Hal ini diatur agar sejalan dengan proses pembangunan yang berkelanjutan
dan berkesinambungan.
Penetapan RTRW sejatinya sudah melalui kajian yang mendalam
dan dapat dipertanggungjawaban, baik secara keilmuan, legalitas formal maupun
penghormatan pada kearifan lokal masing-masing. Sehingga dapat mengurangi
resiko di kemudian hari, dan meminimalisasi resistensi sosial yang mungkin akan
terjadi.
Sekali lagi, tempat tinggal berupa rumah di pemukiman
seharusnya sudah sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Selanjutnya,
masing-masing rumah tersebut dapat melakukan upaya-upaya untuk pengaturan area
resapan pada masing-masing tepat tinggalnya.
Untuk kasus tempat tinggal di Rusun (rumah susun),
kita dapat memastikan kawasan rusun memiliki area resapan yang memadai, yang
disediakan secara terrencana oleh pengembang. Serta keberadannya dikontrol oleh
yang berwenang, untuk memastikan tidak ada alih fungsi lahan pada perkembangan
selanjutnya.
Harapan idealnya, penyediaan area resapan, sebanding
luasnya dengan lahan yang dipakai atau
ditutup oleh bangunan, jalan, atau material lainnya, dimana kondisi tanah tidak
dapat menyerap aliran air diatasnya, seperti lapangan yang ditembok, jalan
aspal atau beton, atau tertutup material lain, seperti plastik, tenda, seng,
atau lainnya.
Untuk formasi lahan pekarangan yang digunakan secara
tetap demi kenyamanan terpaksa menutup dengan material padat, maka sangat
dianjurkan tetap memberi ruang (pori-pori) tanah. Hal tersebut dapat
memanfaatkan paving blok salah satunya. Jadi, kendatipun menggunakan material
padat yang tidak menyerap air, tetap disela-selanya tersedia area resapan.
Dalam hal penyediaan area resapan tiap rumah, amat
diharapkan sejak rencana pembangunan pada denah tanah yang tersedia, menyisakan
ruang terbuka lahan yang tidak ditutupi oleh material padat, dapat berupa taman,
kebun, lapangan rumput, area pertanian, sawah, kolam, atau area hijau (hutan
kecil sekitar rumah), dan lain-lain.
Bagi rumah yang sudah menyediakan area resapan,
agaknya perlu apresiasi dari kelembagaan yang berwenang. Hal tersebut untuk
memberi penyadaran kolektif pentingnya area resapan sekitar kita.
Dengan menyediakan area resapan secara bersama-sama tiap tempat tinggal, maka kelebihan volume air yang diakibatkan oleh hujan deras, banjir kiriman, atau situasi darurat lain, akan dapat terkendali oleh area resapan yang sebanding. Pada gilirannya, kita optimis mampu mengantisipasi bencana kebumian secara global. Semoga.***
Senin, 03 April 2017
Pendekatan Kearifan Lokal Dalam Pengembangan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu
Pendekatan Kearifan Lokal Dalam Pengembangan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu
Oleh : Mansur Asy’arie
Fenomena Gerusan Budaya
Gaya hidup dan
kecederungan masyarakat di negara-negara ketiga, termasuk Indonesia, terutama
generasi muda yang meninggalkan kekayaan leluhur berupa kearifan lokal, tidak
serta merta terjadi begitu saja. Hal ini adalah akumulasi dari perilaku dan
gaya hidup komunal bangsa. Maka pengembalian kecenderungan ini juga mesti
dilakukan secara komunal dan permisif, dengan pemahaman, dukungan serta
penerapan masyarakat kita secara bersama-sama, bahwa potensi warisan leluhur,
berupa kearifan lokal adalah modal yang sangat berharga dalam rangka
mempertahankan identias masyarakat.
Karakteristik
pengembangan tersebut tentu harus dipahami dan disadari sejak awal oleh
masyarakat, bahwa memerlukan proses yang telaten, waktu yang relatif lama dan
sangat sangat menjunjung tinggi kebiasaan, tradisi lokal, dan penghormatan
terhadap kekayaan alam, sebagai sebuah keseimbangan alamiah, dan penghormatan
serta pengabdian kepada Sang Pencipta, sebagai rasa syukur.
Di sisi lain,
tuntutan dan kecenderungan hidup yang mengadaptasi pengembangan inovasi, yang
penerapannya dengan berbasis pada kemajuan teknologi informasi yang serba
instan, digital dan pragmatis, bukanlah sesuatu yang tabu. Pengembangan ini
bukan untuk mengganti proses panjang tradisi lokal, tetapi sebaliknya yaitu
untuk mengefektifkan nilai-nilai warisan leluhur, dengan cara penjagaan
originalitas warisan tersebut, keseimbangan dengan hukum-hukum alam, prinsip
kehati-hatian dan penjagaan hasil-hasil bumi yang telah dianugerahkan oleh Sang
Penguasa.
Selebihnya,
berbagai upaya tarik-menarik kepentingan ekonomi, politik, sektarian, para
pemodal, dunia usaha, komunitas dan pelanggengan kekuasaan berbagai pihak,
antara lokal (daerah) dengan pusat, dalam praktik operasionalisasi pembangunan
juga masih menjadi kendala.
Inilah antara
lain sejumlah masalah yang dihadapi oleh kita dalam upaya pengembangan dan
pembangunan masyarakat, khususnya kawasan Geopark Ciletuh-Palabuhnaratu. Karena
itu, maka perlu dicari pendekatan, mekanisme dan kesepahaman berbagai elemen
yang terlibat dalam rangka proses pembangunan, yang membutuhkan sumber daya
yang tidak sedikit ini.
Mencari
Identitas Budaya Lokal
Kawasan Geopark
Ciletuh-Palabuhanratu yang disadari belakangan ini berada pada sebuah spasial
khusus, adalah takdir. Takdir ini menjadi anugerah tersendiri yang bersifat
unik untuk setiap makhluk yang hidup di dalamnya. Hal itu, sebagai bukti dari
kemahasucian, keagungan dan kemahakuasaan Sang Pencipta. Kita tidak bisa mengelak,
untuk terlahir dan berada pada sebuah wilayah tertentu.
Takdir ini
kemudian menjadi modal awal manusia yang hidup di belahan kawasan ini, untuk
menentukan kehidupannya bersama-sama atau sendiri-sendiri. Sehingga dalam kurun
waktu tertentu makhluk hidup di kawasan tersebut berinteraksi membentuk
karakter khas-spesifik. Dalam pandangan antropologis hal itu kemudian menjadi
ciri khas budayanya. Budaya setempat itu terjadi alami, sebagai entitas
primordial. Kekhasan budaya dalam ikatan sosial dasar tersebut, menurut Steven
Mock (2009), akan menjadi kekuatan utama.
Sebagai manusia
yang terlahir dalam kesamaan takdir, di kawasan ini, maka tentu mempunyai
proyeksi hidup yang dimungkinkan akan memperkuat identitasnya, dengan cara
mempertahankan kebersamaan, persatuan, warisan leluhur, kearifan lokal dan
identitas lainnya, sebagai pandangan komunal.
Tetapi mengacu
pada penelitian yang dilakukan oleh Kirsten Kearney (2007), pada Constructing The Nation: The Role of The
Ballad in Twentieth Century German National Identity with Special Reference to
Scotland, bahwa pada Abad ke-20 perkembangan gagasan kesadaran spasial terbukti
efektif menjadi kekuatan positif sebagai konsep untuk pembangunan masyarakat. Bahkan
sesungguhnya pengakuan bahwa identitas komunal tidak selalu alami, melekat dan
mudah, tetapi lebih merupakan konstruksi yang disengaja, yang dibuat oleh orang
atau kelompok untuk kepentingan politik, sosial dan budaya yang berbeda.
Pandangan ini lebih elegan, karena mengkolaborasi unsur takdir dan usaha.
Realitasnya, ada
sejumlah elemen yang berkontribusi menjadi identitas dasar setiap orang, yang
kemudian menjadi penentu kesadaran kebersamaan, senada dengan M. Quraish Shihab
(2000), dalam Wawasan Al-Quran,
yaitu:
a)
Tubuh fisik (yang meliputi warna
kulit, ukuran, jenis rambut dan ciri-ciri wajah).
b)
Nama orang (nama individu, nama
keluarga dan nama grup).
c)
Bahasa, belajar pertama untuk
berbicara dan dengan yang satu menemukan dunia.
d)
Agama seseorang diindoktrinasi ke
dalam.
e)
Sejarah dan asal dari kelompok satu
dilahirkan.
f)
Kebangsaan seseorang, atau afiliasi
etnis.
g)
Geografi tempat kelahiran.
h)
Budaya yang diwarisi.
Hal-hal itu sekali
lagi dikategorisasikan sebagai faktor primordial. Artinya ada sejak manusia
terlahir. Lalu menjadi identitas. Kendati wacana primordialisme juga mendapat kritik,
karena tidak dapat menjelaskan asal-usul, perubahan dan pembubaran kelompok
etnis secara tuntas.
Dalam konteks
ini, Dumlupinar (2013) berpendapat bahwa identitas adalah konstruksi dan
dibentuk sesuai dengan urgensi konjungtur yang ada. Dumlupinar mengajukan dua
cara menafsirkan karakter komunal sebagai tipe ideal dasar: yaitu identitas primordial
dibandingkan dengan indentitas instrumental.
Dalam terminologi
primordial bahwa pelaku utama yang ethno-nation,
yaitu komunitas yang menyatukan individu melalui persamaan etnik. Sedangkan
Instrumental cara menafsirkan masyarakat yang menekankan aspek pragmatis dan
situasional dari komunitas besar mereka.
Dengan demikian,
kenyataan terbentuknya budaya lokal, baik melalui usaha sistematik maupun
alami, merupakan ciri khas budaya lokal yang dapat dijadikan modal utama untuk
memproyeksikan masa depan mereka menuju kesejahteraan.
Sejumlah
identitas budaya lokal kawasan geopark Ciletuh-Palabuhanratu sudah
diidentifikasi sejak lama, setidaknya oleh tim perumusan rencana induk
pengembangan kawasan ini. Baik dalam bentuk potensi seni tradisi, warisan
budaya sosial, aspek kekhasan goegrafis maupun ancaman kehidupan sesuai
karakter lokal. Kendatipun
sosialisasinya masih belum gencar.
(lebih lanjut untuk membaca artikel ini, kunjungi di
https://mansurasyarie.wordpress.com/2017/04/01/pendekatan-kearifan-lokal-dalam-pengembangan-geopark-ciletuh-palabuhanratu/
Langganan:
Postingan (Atom)