Senin, 03 April 2017

Pendekatan Kearifan Lokal Dalam Pengembangan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu


Pendekatan Kearifan Lokal Dalam Pengembangan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu

Oleh : Mansur Asy’arie



Fenomena Gerusan Budaya
Gaya hidup dan kecederungan masyarakat di negara-negara ketiga, termasuk Indonesia, terutama generasi muda yang meninggalkan kekayaan leluhur berupa kearifan lokal, tidak serta merta terjadi begitu saja. Hal ini adalah akumulasi dari perilaku dan gaya hidup komunal bangsa. Maka pengembalian kecenderungan ini juga mesti dilakukan secara komunal dan permisif, dengan pemahaman, dukungan serta penerapan masyarakat kita secara bersama-sama, bahwa potensi warisan leluhur, berupa kearifan lokal adalah modal yang sangat berharga dalam rangka mempertahankan identias masyarakat.
Karakteristik pengembangan tersebut tentu harus dipahami dan disadari sejak awal oleh masyarakat, bahwa memerlukan proses yang telaten, waktu yang relatif lama dan sangat sangat menjunjung tinggi kebiasaan, tradisi lokal, dan penghormatan terhadap kekayaan alam, sebagai sebuah keseimbangan alamiah, dan penghormatan serta pengabdian kepada Sang Pencipta, sebagai rasa syukur.
Di sisi lain, tuntutan dan kecenderungan hidup yang mengadaptasi pengembangan inovasi, yang penerapannya dengan berbasis pada kemajuan teknologi informasi yang serba instan, digital dan pragmatis, bukanlah sesuatu yang tabu. Pengembangan ini bukan untuk mengganti proses panjang tradisi lokal, tetapi sebaliknya yaitu untuk mengefektifkan nilai-nilai warisan leluhur, dengan cara penjagaan originalitas warisan tersebut, keseimbangan dengan hukum-hukum alam, prinsip kehati-hatian dan penjagaan hasil-hasil bumi yang telah dianugerahkan oleh Sang Penguasa.
Selebihnya, berbagai upaya tarik-menarik kepentingan ekonomi, politik, sektarian, para pemodal, dunia usaha, komunitas dan pelanggengan kekuasaan berbagai pihak, antara lokal (daerah) dengan pusat, dalam praktik operasionalisasi pembangunan juga masih menjadi kendala.
Inilah antara lain sejumlah masalah yang dihadapi oleh kita dalam upaya pengembangan dan pembangunan masyarakat, khususnya kawasan Geopark Ciletuh-Palabuhnaratu. Karena itu, maka perlu dicari pendekatan, mekanisme dan kesepahaman berbagai elemen yang terlibat dalam rangka proses pembangunan, yang membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit ini.

Mencari Identitas Budaya Lokal
Kawasan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu yang disadari belakangan ini berada pada sebuah spasial khusus, adalah takdir. Takdir ini menjadi anugerah tersendiri yang bersifat unik untuk setiap makhluk yang hidup di dalamnya. Hal itu, sebagai bukti dari kemahasucian, keagungan dan kemahakuasaan Sang Pencipta. Kita tidak bisa mengelak, untuk terlahir dan berada pada sebuah wilayah tertentu.
Takdir ini kemudian menjadi modal awal manusia yang hidup di belahan kawasan ini, untuk menentukan kehidupannya bersama-sama atau sendiri-sendiri. Sehingga dalam kurun waktu tertentu makhluk hidup di kawasan tersebut berinteraksi membentuk karakter khas-spesifik. Dalam pandangan antropologis hal itu kemudian menjadi ciri khas budayanya. Budaya setempat itu terjadi alami, sebagai entitas primordial. Kekhasan budaya dalam ikatan sosial dasar tersebut, menurut Steven Mock (2009), akan menjadi kekuatan utama.
Sebagai manusia yang terlahir dalam kesamaan takdir, di kawasan ini, maka tentu mempunyai proyeksi hidup yang dimungkinkan akan memperkuat identitasnya, dengan cara mempertahankan kebersamaan, persatuan, warisan leluhur, kearifan lokal dan identitas lainnya, sebagai pandangan komunal.
Tetapi mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Kirsten Kearney (2007), pada Constructing The Nation: The Role of The Ballad in Twentieth Century German National Identity with Special Reference to Scotland, bahwa pada Abad ke-20 perkembangan gagasan kesadaran spasial terbukti efektif menjadi kekuatan positif sebagai konsep untuk pembangunan masyarakat. Bahkan sesungguhnya pengakuan bahwa identitas komunal tidak selalu alami, melekat dan mudah, tetapi lebih merupakan konstruksi yang disengaja, yang dibuat oleh orang atau kelompok untuk kepentingan politik, sosial dan budaya yang berbeda. Pandangan ini lebih elegan, karena mengkolaborasi unsur takdir dan usaha.
Realitasnya, ada sejumlah elemen yang berkontribusi menjadi identitas dasar setiap orang, yang kemudian menjadi penentu kesadaran kebersamaan, senada dengan M. Quraish Shihab (2000), dalam Wawasan Al-Quran, yaitu:
a)      Tubuh fisik (yang meliputi warna kulit, ukuran, jenis rambut dan ciri-ciri wajah).
b)      Nama orang (nama individu, nama keluarga dan nama grup).
c)       Bahasa, belajar pertama untuk berbicara dan dengan yang satu menemukan dunia.
d)      Agama seseorang diindoktrinasi ke dalam.
e)      Sejarah dan asal dari kelompok satu dilahirkan.
f)        Kebangsaan seseorang, atau afiliasi etnis.
g)      Geografi tempat kelahiran.
h)      Budaya yang diwarisi.
Hal-hal itu sekali lagi dikategorisasikan sebagai faktor primordial. Artinya ada sejak manusia terlahir. Lalu menjadi identitas. Kendati wacana primordialisme juga mendapat kritik, karena tidak dapat menjelaskan asal-usul, perubahan dan pembubaran kelompok etnis secara tuntas.
Dalam konteks ini, Dumlupinar (2013) berpendapat bahwa identitas adalah konstruksi dan dibentuk sesuai dengan urgensi konjungtur yang ada. Dumlupinar mengajukan dua cara menafsirkan karakter komunal sebagai tipe ideal dasar: yaitu identitas primordial dibandingkan dengan indentitas instrumental.
Dalam terminologi primordial bahwa pelaku utama yang ethno-nation, yaitu komunitas yang menyatukan individu melalui persamaan etnik. Sedangkan Instrumental cara menafsirkan masyarakat yang menekankan aspek pragmatis dan situasional dari komunitas besar mereka.
Dengan demikian, kenyataan terbentuknya budaya lokal, baik melalui usaha sistematik maupun alami, merupakan ciri khas budaya lokal yang dapat dijadikan modal utama untuk memproyeksikan masa depan mereka menuju kesejahteraan.
Sejumlah identitas budaya lokal kawasan geopark Ciletuh-Palabuhanratu sudah diidentifikasi sejak lama, setidaknya oleh tim perumusan rencana induk pengembangan kawasan ini. Baik dalam bentuk potensi seni tradisi, warisan budaya sosial, aspek kekhasan goegrafis maupun ancaman kehidupan sesuai karakter lokal.  Kendatipun sosialisasinya masih belum gencar.

(lebih lanjut untuk membaca artikel ini, kunjungi di 
https://mansurasyarie.wordpress.com/2017/04/01/pendekatan-kearifan-lokal-dalam-pengembangan-geopark-ciletuh-palabuhanratu/
 

Selasa, 07 Februari 2017

PENANAMAN 2000 POHON MANGROOVE DI KAWASAN MUARA CIKASO-SUKABUMI

Minggu, 04 Februari 2017 Pukul 09.00 WIB
Penanaman ini di inisiasi oleh Discover Jampang Bersama LSM AMPPLAS, Kompepar Kab. Sukabumi, Compass Smanic, dan komunitas-lain dalam acara Susur pantai Discover Jampang 2017 Route Pantai Minajaya-Muara Cikaso Kabupaten Sukabumi dengan jarak tempuh 17 KM. 
Setelah melakukan perjalanan selama 1 hari dan ngamping 1 malam Dikawasan Talanca Muara Cikaso dan paginya dilanjutkan dengan penanaman 2000 pohon Mangroove di kawasan Talanca Muara Cikaso Desa Cibitung Kecamatan Cibitung Kabupaten Sukabumi. 

Taman Hutan Mangroove Cikaso-Sukabumi
Cikaso Coastal Woodland






Peserta & Panitia Susur Pantai sedang persiapan Penanaman 2000 Pohon Mangroove



2000 Bibit Pohon Mangroove yang siap ditanam

Kawasan Camping Ground Talanca Taman Cemara Laut Talanca Muara Cikaso